Foto: Herdaru/detikFinance
Pengamat Asuransi dari PT Strategi Indonesia Mandiri, Alberto D Hanani, mengatakan perlunya penjelasan yang lebih konkret lagi mengenai kriteria perusahaan asuransi seperti
apa yang mendapatkan jaminan tersebut.
"Hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah lembaga penjamin asuransi yang nantinya akan dibentuk berdasarkan RUU JPSK," ujarnya usai menjadi pembicara dalam Konferensi
Pers Rating 126 Asuransi di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Senin (29/06/2009).
Ia mencontohkan, jika ada dua perusahaan asuransi yang bangkrut, maka pemerintah harus bisa mempertanggungjawabkan mana perusahaan yang akan ditolong. Termasuk mengenai kriteria penyebab terjadinya kebangkrutan.
"Kalau yang satu ditolong, yang satu tidak kan jadi menimbulkan dampak moral hazard, Padahal penyebab kebangkrutan mereka bisa saja berbeda yaitu salah management (pengelolaan yang buruk) dan memang benar-benar kesulitan likuiditas," terangnya.
Kriteria-kriteria inilah yang menurut Alberto masih rancu dan berpotensi mengakibatkan dampak yang buruk bagi industri asuransi.
Ditambah lagi lambatnya DPR mengesahkan RUU tersebut yang mencerminkan ketidakpahaman DPR atas masalah tersebut. "DPR kita tidak seperti DPR Amerika,
mereka sendiri banyak yang tidak mengerti isi tentang RUU itu," paparnya.
Perusahaan asuransi, lanjut Alberto sebenarnya sudah punya penjaminan sendiri atau reassurance, untuk itu lebih baik mengoptimalisasikan penjaminan melalui reassurance itu sendiri. "Industri asuransi sudah ada reassurancenya jadi dioptimalkan saja lembaga tersebut (reassurance)," tegasnya.
Untuk diketahui dalam RUU JPSK memang dijelaskan akan ada penjaminan mengenai penanganan keulitan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas suatu bank dan LKBB yang berdampak sistemik.
Namun yang saat ini menjadi tidak jelas yakni bagaimana prosedur penjaminan di lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang berdampak sistemik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar